Subscribe Twitter Facebook

Friday, August 20, 2010

PELINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK JALANAN DI INDONESIA

Tugas MK: Sistem Hukum Indonesia

ABSTRAKSI

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Anak sebagai individu yang paling rentan posisinya dalam masyarakat memerlukan perlindungan yang telah dijanjikan Negara. Namun Negara kita yang masih berkembang belum mampu merealisasikan UU tersebut dengan maksimal. Di kota-kota besar di Indonesia, keluarga miskin memanfaatkan seluruh anggota keluarganya untuk menopang dan menjalankan keuangan. Akibatnya anak-anak juga ikut bekerja dan tak banyak yang turun kejalan (anak jalanan ).
Tidak dapat kita pungkiri kehidupan anak jalanan hampir identik dengan pandangan negatif masyarakat. Kehidupan mereka yang keras dan jauh dari kata pengawasan orang tua. Ngelem sebagai kegiatan teler dan sebangsanya hampir menjadi label khusus anak jalanan. Belum lagi tindakan kriminal seperti pencurian, pemalakan, atau bahasa-bahasa kasar yang mereka pakai. Perlakuan yang mereka alami seperti kekerasan, baik kekerasan fisik, mental ataupun seksual dianggap sudah lumrah terjadi. Padahal dalam diri anak jalanan juga melekat harkat dan martabatnya sebagai manusia seutuhnya, anak juga memiliki hak azasi manusia yang diakui oleh masyarakat juga bangsa, dimana kedudukan anak yang sungguh penting dalam kehidupan manusia yang menghendaki sistem perlindungan yang berpihak terhadap anak. Oleh karena itu perlu adanya hukum yang mengkhususkan pada kepentingan anak.



PENDAHULUAN

Kemiskinan memunculkan gelandangan dan pengemis (gepeng) di perkotaan yang menjadikan tempat apapun sebagai arena hidup, termasuk stopan, kolong jembatan, trotoar, ataupun ruang terbuka yang ada. Kegagalan keluarga bukan mustahil menjadi penyebab lain munculnya anak jalanan. Banyak anak jalanan muncul akibat kelahiran yang tidak dikehendaki. Bisa juga akibat dendam kepada bapak/ibunya kemudian menelantarkan anaknya. Atau ada anak melarikan diri dari rumah akibat disharmonisasi ibu-bapaknya. Kegagalan ini bisa mendorong berkumpulnya anak jalanan dengan keragaman problematika yang dialami untuk kemudian saling mengisi dan mendidik satu sama lain. Dampaknya anjal akan menjadi kaya dengan persepsi buruk terhadap pihak lain di luar anjal sebagai penyebab dirinya demikian. Oleh sebab itu anjal menjadi rentan dengan penyakit sosial, termasuk kriminalitas, penyimpangan seksual, dan trafficking.
Persoalan nyata yang mereka hadapi adalah adanya eksploitasi dalam kehidupan mereka, seperti seks, pekerjaan dan kehidupan yang lebih luas. Eksploitasi ini bertingkat dari cara yang halus sampai yang sangat kasar. Sodomi, pergaulan dengan WTS, kumpul kebo, merupakan eksploitasi bersifat seks. Eksploitasi pekerjaan bersifat penghisapan upah mereka. Di Philipina dan Thailand, ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru lagi. Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak-anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia. Terkait dengan ini adalah penyebabnya virus HIV, karena sodomi dan pelacuran merupakan perilaku yang beresiko tinggi untuk penyebaran HIV. Jika merunut pada kondisi anak jalanan di negara lain, bukan hal yang mustahil akan terjadi pula di sini karena kondisinya yang tidak jauh berbeda.
Contoh kasus di Jakarta adalah Evo (7 tahun), bukan nama sebenarnya, hampir setiap hari dalam masa liburan sekolah lalu, turun ke jalan. Berangkat dari rumah di sekitar ledok Kali Code, Gowongan, pukul delapan, bahkan kurang, dan pulang sore hari. Bersama saudara-saudaranya ia mengumpulkan rupiah demi rupiah di perempatan lampu merah. Ibunya mengawal dan mengawasi sambil menjual koran. Setiap beberapa menit ia serahkan uang yang diperoleh pada ibunya itu. Ada target yang harus dipenuhi agar ia tidak mendapat dera ibunya. Tanpa alas kaki, ia masuk di sela kendaraan yang sedang menunggu lampu hijau menyala. Kulitnya yang tidak tertutup pakaian sudah menghitam karena panas matahari. Begitu pula rambutnya yang kemerah-merahan.
Belum lagi risiko kanker karena mengisap asap knalpot kendaraan bermotor atau ancaman berbagai penyakit lain dari kondisi lingkungan yang polutif. Sakit "kecil-kecilan" seperti flu atau pusing-pusing yang mereka alami tidak bisa menjadi alasan istirahat di rumah. Di jalan rata-rata mereka memiliki pengalaman buruk dengan Satpol Pamong Praja. Penanganan yang dilakukan pemerintah lebih sering bersifat sementara dan dengan tindak kekerasan yang menimbulkan trauma. Sementara masyarakat umum melihatnya sebagai fenomena kehidupan perkotaan yang akan selalu hadir, tanpa sebuah harapan bahwa hal seperti itu akan dapat benar-benar hilang.
Anak jalanan sering dianggap sebagai masalah tanpa akar yang dapat dipotong begitu saja dengan menangkap dan mengasingkan, tanpa menyentuh sumber masalahnya. Undang-undang tentang perlindungan anak belum mampu menurunkan angka kekerasan tersebut, bahkan semakin menunjukkan banyaknya kekerasan yang dialami anak. Anak-anak yang dieksploitasi, dipekerjakan dalam lingkungan yang buruk, dan berbagai bentuk diskriminasi masih sangat sering dijumpai terutama di kota-kota besar dan dalam keluarga miskin.
Dari paparan diatas tentang realita keadaan anak-anak jalanan, kekerasan, pelanggaran hak yang mereka alami. Tulisan ini akan memfokuskan pada bagaimana penegakan hokum mengenai perlindungan hak-hak anak jalanan di Indonesia.

HAK ASASI MANUSIA

A. PENGERTIAN DAN HAKIKAT HAK ASASI MANUSIA

Sebelum memasuki pembahasan mengenai pelanggaran HAM pada anak jalanan. ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu definisi dasar tentang hak secara definitif. “Hak” merupakan untuk normatik yang berfungsi sebagai panduan perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam rangka menjaga harkat dan martabatnya.
Beberapa pengertian hak menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah :
1. yang benar,
2. milik atau kepunyaan,
3. kewenangan,
4. kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau untuk menuntut sesuatu,
5. derajat atau martabat

ada tiga unsur-unsur HAM, yakni:

a. Pemilik hak,
b. Ruang lingkup penerapan hak, dan
c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Dalam pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia disebutkan, “Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan beberapa rumusan HAM, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM, yaitu:

1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, atau diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agam, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak ada yang bisa membatasi atau melangggar hak orang lain. Seseorang tetap mempunyai HAM walaupun negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM tersebut.


B. BENTUK-BENTUK HAM

Dalam deklarasi universal tentang HAM (Universal Declaration Of Human Rights) atau DUHAM, hak asasi manusia terbagi dalam beberapa jenis, yaitu:
a. hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi)
b. hak legal (hak jaminan perlindungan hukum)
c. hak sipil dan politik
d. hak subsistensi (hak jaminan sumber daya untuk menunjang kehidupan)
e. hak ekonomi, sosial dan budaya.
Selanjutnya, secara operasional dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, ada beberapa bentuk:
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak memperoleh keadilan
5. Hak atas kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman
7. Hak atas kesejahteraan
8. Hak turut serta dalam pemerintahan
9. Hak wanita
10. Hak anak.

C. PELANGGARAN DAN PENGADILAN HAM

Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparatur Negara, baik disengaja ataupun tidak, atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut HAM yang telah dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Pelanggaran HAM tergolong berat, baik berupa kejahatan genosida dan kemanusiaan. Sedangkan pelanggaran selain dari keduanya tergolong ringan.

PEMBAHASAN

Kemiskinan memunculkan gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan. Kegagalan keluarga bukan mustahil menjadi penyebab lain munculnya anak jalanan. Banyak anak jalanan muncul akibat kelahiran yang tidak dikehendaki. Bisa juga akibat dendam kepada bapak/ibunya kemudian menelantarkan anaknya. Atau ada anak melarikan diri dari rumah akibat disharmonisasi ibu-bapaknya. Kegagalan ini bisa mendorong berkumpulnya anak jalalanan dengan keragaman problematika yang dialami untuk kemudian saling mengisi dan mendidik satu sama lain. Dampaknya anak jalanan akan semakin menjadi persepsi buruk terhadap pihak lain di luar golongan mereka. Oleh sebab itu mereka menjadi rentan dengan penyakit sosial, termasuk kriminalitas, penyimpangan seksual, dan trafficking.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak memiliki hak khusus menurut hukum internasional dan hukum Indonesia dan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi anak–anak dari eksploitasi dan segala tindak kekerasan.
Berikut ini adalah beberapa jenis kekerasan yang biasa terjadi pada anak, khususnya dikalangan anak-anak jalanan :

Kekerasan fisik
Bentuk ini paling mudah dikenali terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah menampar, menendang, memukul, mencekek, mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tanpak secara langsung pada fisik korban seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih parah. Kondisi ini sering terjadi pada anak-anak yang kurang atau tidak mendapat pengawasan dari keluarga dan juga dari masyarakat di sekitarnya seperti yang terjadi pada anak-anak jalanan.

Kekerasan psikis
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah untuk dikenali. Akibat yang dirasakan oleh anak yang menjadai korban tidak memberikan bekas yang tanpak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta martabat korban. Wujud konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah penggunaan kata-kata kasar penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan anak didepan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan (Decission making).

• Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yang dialami oleh anak jalanan termasuk pelecehan seksual seperti diraba-raba, diajak melakukan hubungan seksual, disodomi dan dipaksa melakukan hubungan seksual dan lain sebagainya

• Kekerasan Ekonomi
Pada anak-anak kekerasan jenis ini sering terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih berusia dibawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga, sehingga fenomena penjual koran, pengamen jalanan, pengemis anak bahkan dapat pula berupa tindakan kriminal seperti pemalakan, pencopetan dan lain-lain kian merebak terutama diperkotaan.

Dalam UU 23/02 tentang Perlindungan Anak, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 22). Demikian juga masyarakat yang diwujudkan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 25). Sedangkan orang tua bertanggung jawab mengasuh memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Selain itu jika orang tua mereka tidak mampu untuk melaksanakan tanggung jawabnya, maka anak jalanan menjadi tanggung jawab pemerintah (pasal 45 ayat 2 UU 23/02).

Ketentuan pidana
Berikut adalah beberapa ketentuan pidana atas pelanggaran dan tindakan kejahatan mengenai anak :
• Pasal 77 UU no.23/02 mengenai tindakan diskriminasi, penelantaran yang mengakibatkan anak mengalami sakit baik fisik maupun mental dapat dipidanakan dengan kurungan penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda Rp. 100.000.000,00- (seratus juta rupiah)

• Pasal 80 UU no.23/02
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


Kehadiran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di daerah semakin pentinguntuk menyosialisasikan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Tanpa sinergi dan kerja sama dengan pihak terkait lainnya, KPAI pun tidak mungkin bisa bekerja dengan maksimal. Masih ada waktu dan kesempatan

0 comments:

Post a Comment